News Update
- Bali Mau Dibuka, Sandiaga Tampung Usulan Pelaku Wisata
- Potret Jembatan Kaca Tak Biasa di China
- Kota Ini Lekat dengan Tukang Sayur Bermotor CBR-Ninja 250
- Ini Cara Perbaiki Kualitas Tidur Tanpa Konsumsi Obat
- 5 Makanan dan Minuman yang Tak Disarankan untuk Pengidap Bipolar
- Unik, Ada Masjid Full Color di Tengah Perkampungan Garut
- Melihat Mesin Pencetak Uang Kuno di Galeri Museum Peruri
- Bangkit Lagi, Hotel Bandung dan Saung Angklung Udjo Lakukan Kolaborasi
Hidup adalah Jalan Pengabdian
Rabu,2020-02-12,10:04:48
(IANnews.id)
Iannews-Jakarta. Menyimak hidup Sardjito, tampak jelas keyakinan filosofisnya bahwa “Dengan memberi maka seorang justru semakin kaya,” jelas bukan hanya gincu pemanis bibir. ltu bukan hanya soal keyakinan, tapi juga selalu dibuktikan di sepanjang perjalanan hidupnya.
Dalam memori publik, bicara nama Sardjito mungkin saja lebih lekat pada citra sebuah rumah sakit di Daerah Istimewa Yogyakarta. Ya, RSUP (Rumah Sakit Umum Pusat) Dr Sardjito adalah rumah sakit umum Kelas A. Selain jadi rumah sakit rujukan untuk daerah Provinsi DIY dan Jawa Tengah Bagian Selatan, juga sekaligus merupakan RS Pendidikan.
Ide rumah sakit ini diusulkan Sardjito. Merujuk laman resmi rumah sakit, dikatakan ide mendirikan Rumah Sakit Umum dan Pendidikan pada satu lokasi pertama kali dicetuskan oleh Prof Dr Sardjito pada 1954. Selain melayani masyarakat yang tengah sakit, tujuan pembangunan rumah sakit ialah memfasilitasi pendidikan bagi calon dokter dan dokter ahli, serta digunakan untuk pengembangan penelitian kesehatan.
Merujuk artikel Herman Setyawan (2018), Peran Ketokohan Sardjito dalam Pendirian dan Penamaan RSUP Dr Sardjito, disebutkan cita-cita Sardjito ini mendapat dukungan DPRD DIY. Parlemen di tingkat daerah lantas mengusulkan kepada pemerintah supaya didirikan rumah sakit untuk keperluan kesehatan dan pendidikan di Yogyakarta.
Oleh pemerintah pusat, usul diterima. Namun karena satu atau lain hal, barulah di akhir 1969 usulan itu mulai diwujudkan. Sedianya mulai dibangun setahun kemudian, di tahun 1970. Namun di tahun itu juga secara bersamaan Prof Dr Sardjito wafat. Oleh karena itu, rumah sakit yang didirikan tersebut lantas diberi nama menggunakan nama pengusulnya.
Seturut Setyawan, merujuk pimpinan proyek Prof Dr Ismangoen saat itu, dikatakan pembangunan rumah sakit ini dilakukan bertahap. Ada empat periode proses pembangunan, dan bangunan itu barulah selesai sepenuhnya pada 1981-an. Berita Kagama Edisi Januari-Februari 1982 mencatat, Presiden Soeharto meresmikan RSUP Dr Sardjito pada 8 Februari 1982. Acara peresmian ditandai penandatanganan prasasti dan pembukaan kain penutup patung setengah badan Prof Dr Sardjito di depan halaman rumah sakit.
Lalu, pertanyaannya ialah: siapakah sosok Sardjito ini? Apakah jasa dan kontribusinya bagi bangsa dan negara Indonesia, sehingga Presiden Joko “Jokowi” Widodo akhirnya menyematkan anugrah kepadanya sebagai Pahlawan Nasional?
Sejarah dan Kiprah
Menurut tulisan Rara Widuri (2015), Sardjito, Sebuah Biografi Intelektual 1923-1970, Sardjito lahir di Desa Purwodadi, Magetan, Madiun, Jawa Timur, pada 13 Agustus 1888. Pada 1907, Sardjito tercatat menyelesaikan pendidikan formalnya di Sekolah Belanda di Lumajang. Kemudian di tahun itu juga Sardjito masuk STOVIA dan berhasil lulus pada 1915.
Sumber lain, yaitu Akhir Matua Harahap dalam Sejarah Yogyakarta (1): Dr. Sardjito, Ph.D, Dokter Bergelar Doktor; STOVIA, Boedi Oetomo, Leiden, Pasteur Instituut, UGM, menyebutkan Sardjito diterima di sekolah kedokteran STOVIA pada 1906. Namun antara Widuri dan Harahap tiba pada data yang sama perihal kelulusan Sardjito dari STOVIA, yaitu tahun 1915.
Harahap, staf pengajar dan peneliti di Universitas Indonesia ini juga berbeda pendapat soal tahun kelahiran sosok Sardjito. Menurutnya, Sardjito lahir pada 1889. Dari sumber ini juga disebutkan nama ayahnya, Mohamad Sajid. Ayahnya adalah seorang guru di Pemalang, kemudian lanjut jadi guru HIS di Bondowoso, dan terakhir diangkat jadi pengawas sekolah.
Masih seturut penelitian Harahap, setelah lulus dari STOVIA Sardjito diangkat sebagai dokter dinas kesehatan kota (Burgerlijke Geneeskundige Dienst) di Batavia. Selama tinggal di Batavia, Sardjito berpartisipasi sebagai anggota Maleische kiesvereniging, yakni semacam asosiasi para pemilih untuk dewan kota. Dalam asosiasi ini terdapat nama besar Husein Djajadiningrat, orang bumiputra pertama yang memperoleh gelar doktoral dari Universitas Leiden di Belanda.
Kembali pada Sardjito. Dia lantas bekerja di Pasteur Instituut di Batavia, sebelum nanti pada 1923 lembaga ini pindah kantor ke Bandung. Penelitian selama setahun (1918-1919) soal influenza merupakan riset pertamanya. Saat itu, influenza masih merupakan salah satu penyakit mematikan dan jadi momok menakutkan. Dari lembaga ini pulalah, Sardjito menemukan jalan untuk melanjutkan studinya ke Belanda.
Merujuk surat kabar yang terbit di Batavia, Bataviaasch nieuwsblad, Harahap mencatat pada 8 Desember 1920 Sardjito naik kapal bertolak ke Rotterdam. Di sepanjang tahun 1921-1922, ia melanjutkan pendidikan kedokteran di Universitas Amsterdam. Karena dia notabene memiliki banyak pengalaman riset saat bekerja di Pasteur Instituut, Sardjito jauh dari kesulitan untuk meraih gelar dokter. Harahap menulis, Sardjito hanya butuh satu semester untuk meraih gelar dokter.
Tak puas berhenti di situ. Sardjito lantas mengajukan proposal studi untuk mengambil tingkat doktoral. Sardjito mengembangkan perhatiannya terhadap penyakit-penyakit tropis. Sardjito tercatat lulus ujian pertama di bulan Januari tahun 1922. Lebih jauh, akhirnya pada tahun 1923 dia lulus ujian tingkat doktoral dan meraih gelar doktor.
Merujuk surat kabar Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, bertanggal 11 Juli 1923, Harahap menulis Sardjito berhasil mempertahankan desertasinya di Universiteit Leiden. Judul disertasi Sardjito: Immunisatie tegen bacillaire dysenterie door middel van de baéteriophaag antidysénteria Shiga-Kruse. Seturut Harahap, Sardjito ialah orang kedua bumiputra yang meraih gelar doktor di bidang kedokteran
Selama tinggal di Belanda, Harahap juga mencatat Sardjito tak ketinggalan turut aktif di Indische Vereeniging, sebuah asosiasi yang menghimpun mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Belanda sana. Tak kecuali ketika di Hindia Belanda, Sardjito juga cukup aktif dalam organisasi Budi Utomo.
Belum lama pulang ke Indonesia, kembali merujuk artikel Widuri, Sardjito lagi-lagi mendapat kesempatan studi ke luar negeri. Kali ini ia studi di negeri Paman Sam. Universitas John Hopkins ialah tempatnya, salah satu universitas terkemuka di dunia. Sardjito di sini mempelajari tentang hygiene. Lulus pada tahun 1924, ia meraih gelar Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat. Saat itu Sardjito ialah sarjana Indonesia pertama yang belajar di sana.
Pada 1930-an, ia menjadi kepala sebuah laboratorium kedokteran di Semarang, setalah sebelumnya di tahun 1930 sempat kembali ke Belanda untuk belajar tentang seluk beluk laboratorium. Harahap mencatat, Sardjito cukup lama bekerja sebagai kepala laboratorium di kota ini. Namun dari sumber lainnya, Menyingkap Pemikiran Prof Dr Sardjito tulisan Arwan Tuti Artha (2006), ilmu tentang laboratorium ini dipelajari Sardjito di Jerman pada 1931. Sayangnya tidak terlalu jelas manakah yang benar.
Di masa perang kemerdekaan (1945-1949), Sardjito tercatat pernah memindahkan sebagian besar peralatan medis dan buku-buku yang disimpan Pasteur Institute di Bandung Jawa Barat ke Klaten di Jawa Tengah. Pada masa perang kemerdekaan juga, Sardjito tercatat menciptakan makanan ransum yang sohor disebut “Biskuit Sardjito” untuk membantu perjuangan tentara.
Implikasi perang kemerdekaan ialah dipindahkannya ibu kota. Dari Jakarta ke Yogyakarta. Sejalan dengan momentum itu, pemerintah juga turut memindahkan lokasi Perguruan Tinggi Kedokteran di Jakarta ke sana. Lembaga ini di zaman kolonialisme Belanda bernama Geneeskundige Hoge School, sebagai kelanjutan dari STOVIA. Sedangkan di zaman Jepang dinamai Djakarta Ika Daigaku. Nama Perguruan Tinggi Kedokteran dikenakan setelah pascakolonialisme.
Sayangnya bicara fasilitas untuk mendirikan Perguruan Tinggi Kedokteran di Yogyakarta, saat itu potretnya jauh dari memadai. Maka diputuskan oleh pemerintah, lokasi Perguruan Tinggi Kedokteran dipindahkan ke Klaten di Jawa Tengah. Bagian preklinik dipusatkan di Klaten. Bagian klinik di Surakarta. Momen itulah—yaitu 5 Maret tahun 1946—merujuk laman resmi Fakultas Kedokteran UGM, dianggap jadi tonggak pendirian fakultas kedokteran. Dekan pertamanya ialah Sardjito.
Dari Klaten, perjalanan karir Sardjito nantinya berpindah ke Yogyakarta. Masih dari bidang pendidikan, Sardjito merupakan salah satu perintis dan sekaligus rektor UGM (Universitas Gadjah Mada) yang pertama. Dia menjabat cukup lama, yaitu di sepanjang antara tahun 1949 hingga 1961.
Berlokasi di Yogyakarta, UGM sendiri ialah penggabungan beberapa perguruan tinggi dan sekolah tinggi yang sebelumnya telah ada. Seperti Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi, Farmasi, Kedokteran Hewan, dan Fakultas Pertanian. Pada awalnya semua fakultas ini berada di Klaten. Sedangkan dari Yogyakarta terdapat Sekolah Tinggi Teknik, Sekolah Tinggi Hukum, dan Sekolah Tinggi Sastra. Dari sinilah UGM dilahirkan. Ini terjadi pada 19 Desember 1949. Menarik dicatat di sini, saat menjadi rektor UGM Sardjito telah menegaskan pentingnya menanamkan nilai-nilai Pancasila di kampus.
Tak hanya itu. Selepas dari UGM, Sardjito kembali menjadi rektor. Kali ini di UII (Universitas Islam Indonesia), sebuah perguruan tinggi swasta nasional yang tertua di Indonesia ini juga berlokasi di Kota Gudeg. Sardjito memimpin UII dari tahun 1961 hingga 1970.
Masih seputar dunia kampus. Secara akademis Sardjito juga merupakan peneliti yang telah menggunakan pendekatan multi dan atau interdisipliner. Ini setidaknya tampak pada tulisan kolaborasi antara Sardjito dan ahli paleoantrophologi GHR von Koenigswald. Berjudul The Occurrence in Indonesia of Two Diseases Rhinoscleroma and Bilharziasis Japonica Whose Spread Is Rooted Deep in The Past, mereka berdua mengulas sejarah antropologis suatu penyakit.
Kesungguhan Sardjito berkiprah di dunia akademis terlihat dari jumlah dan kualitas karya-karyanya. Merujuk tulisan NG Dachlan, Memperingati Sewindu Wafatnya Prof. Dr. Sardjito, MD. MPH, disebutkan bahwa Sardjito setidaknya telah menghasilkan 6 buku dan 55 karangan. Selain itu, dia juga dikenal sebagai inisiator kuliah a-la studium general di Indonesia.
Mari bicara pengabdiannya di dunia kesehatan. Sardjito tercatat memiliki beberapa penemuan penting. Sebutlah obat penyakit batu ginjal, calcusol, misalnya. Atau, contoh lain obat penurun kolesterol, calterol. Merujuk Artha, calcusol sebagai obat penghancur batu ginjal ditemukan berawal dari kasus istrinya yaitu Soekaemi, mengindap sakit ginjal kronis.
Sementara, mengingat posisinya pernah bekerja cukup lama sebagai mantan direktur Pasteur Instituut—entitas bisnis ini kini jadi BUMN Bio Farma—maka bicara temuan vaksin jelas Sardjito punya andil tak kecil. Bicara vaksin bagi jenis penyakit seperti typus, kolera, dysentri, staflokoken, dan streptokoken, misalnya, nama Sardjito patut disebut karena kontribusinya terhadap proses penemuan tersebut.
Demikianlah Sardjito. Jauh sebelum dirinya dianugerahi atribut mulia sebagai Pahlawan Nasional di tahun 2019—kembali merujuk Artha—dipaparkan bahwa jalan pengabdian Sardjito telah berbuah beberapa penghargaan. Pada 1958, Sardjito dianugerahi “Bintang Gerilya”. Pengharagaan ini diberikan oleh pemerintah Indonesia karena keterlibatan Sardjito saat perjuangan gerilya. Pada 1960, Sardjito kembali mendapatkan penghargaan: “Bintang Mahaputera” tingkat III dari Pemerintah Indonesia dan “Bintang Kehormatan Keilmuan” dari Pemerintah Uni Soviet.
Ya, menyimak kisah perjalanan Sardjito, tampak jelas keyakinan filosofisnya, “Door het geven wordt men rijk”, benar-benar diinternalisasi sepenuhnya ke dalam relung kesadaran. Semboyan dalam Bahasa Belanda ini, yang kurang lebih artinya ialah “dengan memberi maka seorang justru menjadi semakin kaya,” jelas bukan hanya gincu pemanis bibir. Baginya filosofi ini tentu bukan hanya perihal keyakinan, melainkan juga dipraktikkan sepanjang perjalanan hidupnya untuk selalu dibuktikan.
Dan buah kekayaan filosofi dari sikap memberi itu, hingga kini bahkan tampak masih dirasakan oleh keluarganya, jauh hari setelah Sardjito meninggal dunia pada 5 Mei 1970. Pada 7 November 2019, Presiden Jokowi selaku kepala negara telah menyematkan sebuah gelar kehormatan yang mahatinggi kepada Sardjito sebagai Pahlawan Nasional. (W-1)
- 1Toyota Akhirnya Pamer C-HR, Si Penantang Honda HR-V
- 2Istaka Yakin Jalan Layang Casablanca Rampung Oktober
- 3Lulusan SD Ini Raih Puluhan Juta dari Jual Boneka
- 4Ancaman Serangan Militer Suriah Dorong Harga Emas Naik
- 5Harga Minyak Jatuh Karena Kekhawatiran atas Suriah Berkurang
- 6Upah Minimum 2014 Mengacu Dewan Pengupahan