News Update
- Bali Mau Dibuka, Sandiaga Tampung Usulan Pelaku Wisata
- Potret Jembatan Kaca Tak Biasa di China
- Kota Ini Lekat dengan Tukang Sayur Bermotor CBR-Ninja 250
- Ini Cara Perbaiki Kualitas Tidur Tanpa Konsumsi Obat
- 5 Makanan dan Minuman yang Tak Disarankan untuk Pengidap Bipolar
- Unik, Ada Masjid Full Color di Tengah Perkampungan Garut
- Melihat Mesin Pencetak Uang Kuno di Galeri Museum Peruri
- Bangkit Lagi, Hotel Bandung dan Saung Angklung Udjo Lakukan Kolaborasi
Citra Indonesia dan Pariwisata
Selasa,2020-02-25,09:27:19
(IANnews.id)
Iannews-Jakarta. Catatan perjalanan oleh banyak pengelana dunia berabad silam, disadari atau tidak seringkali menjadi cikal bakal perkembangan pariwisata dunia. Tentu saja juga bagi Indonesia. Deskripsi tentang citra eksotisme alam dan budaya nampaknya jadi arus utama yang ditulis para pengelana khususnya pengelana Barat ketimbang aspek lainnya.
Mooi Indie” atau “Hindia Belanda yang Molek,” adalah citra yang kuat terpatri di benak warga Eropa.
Denys Lombard (1996) mengakui citra itu. Sejarawan Perancis bermazhab Annales ini, menulis: “sebagian besar buku yang ditulis di Barat tentang Nusantara berkelok-kelok di antara dua kutub yang meninabobokan: ‘beku dalam keindahan berwarna-warni atau tempat mimpi romantis yang penuh nostalgia’.” Yang justru karena kontrasnya dengan kami, lanjut Lombard, maka ia menenangkan pikiran dan menentramkan hati.
Mari kita simak catatan perjalanan di ahkir abad ke-19. Sebutlah W Basil Worsfold, misalnya, menuliskan catatan perjalanannya saat berkunjung ke Jawa. Bukunya ‘A Visit to Java’ terbit 1893 mengungkapkan banyak hal menarik. Tak hanya berkisah tentang Buitenzorg atau Bogor sekarang dan Batavia atau Jakarta kini, Worsfold juga menulis sejarah Jawa sejak masa Kerajaan Hindu dan Budha juga Islam, kehadiran bangsa Portugis di Malaka, dan kemudian diikuti oleh masuknya bangsa Belanda dan Inggris.
Tak hanya itu. Worsfold pun menulis tentang Borobudur sembari mengutip pernyataan yang bernada polemis dari Alfred Russel Wallace yang telah terlebih dulu berkunjung ke pedalaman Jawa di kisaran 1860: "Jumlah tenaga kerja serta keahlian yang dibutuhkan untuk membangun Piramida Besar di Mesir jadi tak berarti sekiranya dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sebuah candi bukit yang penuh pahatan indah di pedalaman Jawa."
Ini tentu sangat menarik. Tapi, masih ada topik menarik lain, yang nantinya memiliki korelasi dengan kemunculan dan tumbuhnya citra pariwisata Indonesia. Pada bagian dua yang berjudul “Travelling and Hotel,” Worsfold bukan saja memaparkan kondisi keragaman bentang alam dan panoramanya, tapi juga menggambarkan bahwa Jawa saat itu terdiri dari kota-kota besar dan beradab yang telah dilengkapi dengan jalan-jalan sangat baik. Bahkan sebagian dari kota itu telah dilalui oleh jalur kereta api. Selain itu, Worsfold juga menggambarkan, masyarakat Jawa itu cinta damai dan rajin bekerja.
Catatan perjalanan lain ditulis oleh Comte de Beauvoir, bangsawan Perancis yang mampir ke Jawa pada 1866. Sepulangnya ke Prancis pada 1867, Beauvoir menulis kisahnya. Berjudul “Australie et Java, Siam, Canton” dicetak pertama kali pada 1872. Dia bercerita tentang heroisme perburuan badak dan buaya di Jawa Barat, juga tentang kemewahan gaya hidup para pangeran dan bupati.
Namun selama kunjungannya di sini, Beauvoir nampak begitu terpesona dengan bentang keindahan panorama alam Jawa. "Jika ada orang-orang yang peka akan keindahan alam, datanglah ke sini. Mereka akan menjadi bisu karena terpesona," tulis Beauvoir.
Sedikit mundur masuk ke periode sebelum itu, HN Sieburgh tentu pantas disebut. Seperti diketahui sejak 1837 – 1841 pelukis Belanda itu telah menyusuri situs-situs candi penting di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sieburgh mendokumentasikan aneka rupa candi itu ke dalam lukisan dan tulisannya, antara lain seperti Borobudur, Prambanan, Sukuh, Singhasari, Jaso, Kidhal, dsbnya. Walhasil, masih merujuk Denys Lombard, saat itu berdarmawisata ke Borobudur dan Prambanan telah jadi kebiasaan warga Eropa. Bahkan mereka yang fisiknya kuat tak jarang mau bersusah payah untuk mendaki ke Sukuh dengan maksud melihat arca mitologi Garuda yang tersohor itu.
Di atas itu semua tentu adalah kontribusi Sir Thomas Stamford Raffles. Karya besarnya “The History of Java” yang terbit pada 1817 tentu telah dibaca banyak orang Eropa dan mengundang hasrat para pelancong berkunjung ke Jawa. Atas prakarsa Raffles juga warisan budaya Jawa digali dan ditemukan, antara lain Candi Borobudur (1814), Candi Panataran (1815) dan Candi Prambanan (1815). Begitu besar perhatiannya pada bidang sastra dan budaya membuat Raffles mendirikan Museum Etnografi Batavia. Beberapa lokasi eksotis yang pernah dicatatnya itu, hari ini beberapa di antaranya masih menjadi destinasi pariwisata yang masyhur.
Sementara jika bicara pembisnis di sektor pariwisata di Hindia Belanda yang pertama, kita patut menyematkan predikat itu pada sosok Hofhout. Pasalnya, informasi perihal kekayaan alam Indonesia yang mengundang orang-orang Eropa berkunjung ke Hindia Belada bermula dari sebuah buku panduang pariwisata tertua yang ditulisnya. Ditemukan oleh Denys Lombard, buku itu ditulis oleh Hofhout terbit pada 1786. Sengaja ditulis bagi para pegawai VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang baru saja tiba di Batavia.
Selain memuat topografi yang cermat mengenai kota Batavia dan sekitarnya, buku ini berisi iklan yang menganjurkan orang pergi tamasya ke sebuah kota peristirahatan di kaki Gunung Salak, Cipanas. Menariknya lagi, buku ini telah memuat daftar kata bahasa Melayu yang membantu terjalinnya komunikasi sederhana antara orang-orang Eropa dan Indonesia.
Menangkap peluang besarnya minat kunjungan wisatawan ke Hindia Belanda, pada April 1908 didirikanlah ”Vereeniging Toeristenverkeer” (VTV) di Weltevreden, Batavia. Ini adalah semacam asosiasi turisme, sebuah lembaga semi resmi yang mendapatkan subsidi dari Pemerintah saat itu. Peresmiannya dilakukan oleh Gubernur Jenderal Van Heutsz, tujuan asosiasi ini untuk mengembangkan dan mendorong turisme di Hindia-Belanda.
Vereeniging Toeristenverkeer, yang nantinya berubah nama dalam bahasa Inggris menjadi “Travellers Official Information Bureau”, memiliki data perihal jumlah wisatawan asing yang datang ke Hindia Belanda. Angkanya cukup menarik, bahkan saat perekonomian global memasuki era Malaise di 1930-an—atau sering disebut oleh Bapak Proklamator Soekarno-Hatta sebagai “Zaman Meleset”—boleh dikata sektor pariwisata ini nisbi pejal dari krisis dan tidak mengalami kelesuan.
Bahkan, trend kenaikan jumlah kunjungan ke Hindia Belanda masih saja terus terjadi, terlebih sejak dibukanya rute penerbangan ke Hindia Belanda oleh Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM) pada momen menjelang krisis, 1928.
Daerah-daerah yang dipromosikan oleh Vereeniging Toeristenverkeer cukup banyak. Bukan hanya Jawa melainkan juga Sumatera, Celebes, Borneo, Maluku, Lombok, Flores dan Bali. Mulanya Jawa menjadi destinasi utama. Branding pariwisata disematkan pada Jawa adalah “the pearl of the East” dan “the paradise of the South Sea”.
Namun kemudian menjelang 1930-an posisi itu diambil alih oleh Bali. Jawa dianggap sudah tidak “murni” lagi. Jawa yang telah dieksploitasi habis-habisan dan menjadi kian modern memerlukan pengganti yang lebih “murni”.
Popularitas Bali membuat Pulau Dewata ini diusung menjadi tema utama saat pameran kolonial internasional di Paris pada 1931. Pintu masuk pavilyun Hindia-Belanda di stand pameran itu sengaja dirancang menggunakan duplikat pintu masuk Pura Camenggon di Sukawati, Bali Selatan. Pintu duplikat itu dibuat setinggi 50 meter lengkap dengan ukiran dari batu granit.
Menyadari potensi dari citra “Mooi Indie”, Nawacita memberikan perhatian cukup besar untuk pembangunan pariwisata. Kini dan ke depan Pemerintah bermaksud membangun pariwisata menjadi sektor unggulan dan program prioritas. Presiden Joko Widodo bermaksud membangun “10 Bali Baru” dengan branding “Wonderful Indonesia” sebagai tagline-nya.
Membangun citra pariwisata tentu bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan kesiapan dan persiapan dari seluruh stakeholder. Bukan hanya dibutuhkan dukungan pemerintah dan arah kebijakan regulasi yang berpihak, melainkan juga dibutuhkan keterlibatan aktif dari para aktor non-pemerintah. Tak hanya menuntut kemudahan akses informasi, komunikasi dan transportasi, melainkan juga keterlibatan para pelaku usaha untuk berinvestasi, adanya pengelolaan secara profesional, hingga kesiapan masyarakat di daerah destinasi pariwisata sendiri.
Sudah empat tahun ini kebijakan di sektor pariwisata digeber. Hasilnya tak sia-sia. Sepanjang 2016 Indonesia berhasil menorehkan 46 penghargaan di 22 negara. Sedang sepanjang 2017 Indonesia tercatat mendapatkan 21 penghargaan di 10 negara. Dan hingga September 2018, Indonesia kembali menorehkan prestasi dengan mendapatkan 31 penghargaan di berbagai ajang di 9 negara.
Bicara kenaikan kunjungan wisatawan baik domestik maupun manca juga tak sia-sia.
- 1Toyota Akhirnya Pamer C-HR, Si Penantang Honda HR-V
- 2Istaka Yakin Jalan Layang Casablanca Rampung Oktober
- 3Lulusan SD Ini Raih Puluhan Juta dari Jual Boneka
- 4Ancaman Serangan Militer Suriah Dorong Harga Emas Naik
- 5Harga Minyak Jatuh Karena Kekhawatiran atas Suriah Berkurang
- 6Upah Minimum 2014 Mengacu Dewan Pengupahan